Header Ads

ads header

PROFIL WOOGADABII

Foto Pada Saat Wisuda 26 Februari 2014 


BAB I

GAMBARAN UMUM

Kondisi Kehidupan Sosial Budaya Mee

1.    Manusia Mee

        Suku Mee adalah segenap masyarakat yang bertempat tinggal dan berdiam di wilayah Paniai mulai dari Kegata Kabupaten Dogiyai hingga Makataka. Perbatasan Suku Mee dan Suku Migani di Kabupaten Intan Jaya, merupakan satu kesatuan etnik Papua yang membedakan diri dari kesatuan etnik lainnya berdasarkan atas kesadaran identitas, perbedaan kebudayaan dan kesadaran biologisnya. Mee adalah nama suku suatu kelompok yang tinggal di pedalaman Kabupaten Paniai, Dogiai dan Deiyai. Pengertian Suku yang dimaksud di sini adalah sekelompok sosial yang hidup di suatu tempat yang bisa dibedakan dengan kelompok sosial yang lain berdasarkan kesadaran akan identitas.

 

Perbedaan kebudayaan lebih khususnya bahasa dan kebudayaan. Sejarah suku Mee sudah banyak ditulis oleh para antropolog dan budayawan dan juga dari Belanda yang antara Pemaparan struktur dan penyebaran bahasa Mee merupakan hal yang sangat esensial untuk memberikan prioritas berpatokan pada eksistensi wilayah. Sebagai anggota masyarakat, orang Mee hidup dalam satu kesatuan sistem yang saling terelasi dan terintegrasi.

 

Sistem-sistem tersebut adalah sistem religi, sosial, ekonomi, budaya dan politik. Fokus yang menyolok pada kehidupan manusia Mee yaitu budaya, dan sistem religi tradisional sebagai bagian dari fokus sistem ideologinya.  Untuk mempercepat proses pembangunan maka orang Mee perlu dikenal lebih baik, agar mereka tidak ditempatkan dalam arah perkembangan dan pembangunan yang keliru. Dalam hidup sosio-religi, manusia Mee mempunyai hasrat dasariah untuk mencapai keutuhan, kebulatan dan kesempurnaan di dalam dan dengan realitas. Hasrat itu lebih bersifat abstrak.

 

Hasrat religius orang Mee sedemikian membara, sehingga mereka mencari bentuk-bentuk nyata sebagai Jembatan Penyatuan berupa benda-benda sakral unsur-unsur kosmis, kekuatan-kekuatan gaib dan makhluk- makhluk halus masyarakat itu sendiri. Apa pun yang pernah terjadi di zaman lampau itu sungguh nyata dan bersifat sejarah mistis dalam  hidup sehari-harinya.

Sebab itu, suasana hidup temporal bersifat sempurna, serba bahagia dan damai sejahtera yang berlimpah ruah. Namun demikian, manusia yang hidup pada waktu itu lalu saling berkelahi dan memusuhi sehingga hilanglah suasana Firdaus. Suasana Firdaus itulah yang sekarang sedang diupayakan untuk hidup kembali di kalangan orang Mee. Jadi mitos tentang suasana Firdaus ini bagi orang Mee merupakan wahana orang menemukan contoh-contoh atau model asal segala sesuatu dari kehidupan untuk menguji, membenarkan serta meneguhkan sikap dan tata kelakuan mereka di zaman ini. Manusia Mee hidup dalam satuan-satuan ikatan seadat, satuan-satuan konfederasi tradisional dan satuan - satuan klen atau menurut silsilah patrilineal.

     Dalam satu kesatuan tersebut, manusia Mee mempraktekkan nilai-nilai kebaikan, yaitu nilai kebersamaan (kekeluargaan, kekerabatan, solidaritas, gotong royong, resiprositas, kekuatan, persatuan, dan lain-lain) dan nilai relasi (antara manusia dengan manusia, manusia dengan penciptanya, manusia dengan unsur-unsur kosmis dan manusia dengan makhluk - makhluk halus di sekitarnya).

 

 Kedua nilai kebersamaan relasi tersebut merupakan nilai-nilai tersisa dari suasana firdaus di zaman bahari yang senantiasa terulang untuk membangun suatu kehidupan baru yang lebih baik dalam dunia yang lebih baik pula (Firdaus Baru).

 

Masyarakat Mee yang berdiam di wilayah Danau Tigi dan sepanjang Kali Yawei merupakan bagian dari manusia Mee lain di wilayah Paniai. Kehidupan manusia Mee di Deiyai dan peradabannya tidak lepas dari perkembangan baik perkembangan Agama, Pemerintahan, dan aspek lain secara umumnya. Karena itu tidak ada perbedaan yang sangat signifikan dalam kehidupannya akan tetapi yang membedakan hanyalah wilayah Pemerintahan. Kita dapat simak bahwa Masyarakat Mee tersebar di tiga kabupaten Yakni Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Paniai, serta sebagian besar di Kabupaten Nabire.

BAB II

WOOGADABII

      Salah satu tradisi dari sekian kebiasaan yang ada dikalangan suku Mee adalah acara pemberian atau inisiasi kepada bayi yang baru lahir, serta kepada orang yang berhasil dan sukses dalam suatu perjungan hidup.  Pemberian nama selalu berdasarkan situasi yang dialami oleh orang tua saat bayi tersebut dalam kandungan. Bahkan, nama adat yang disembahkan kepada seseorang itu harus didapatkan melalui mimpi. Tidak sembarang dan harus memiliki makna atas yang akan diberikan. Inisiasi adat harus diselingi dengan GAUPEE. Pemberian nama secara adat selalu dilakukan  ditandai dengan mengenakan topi yang disebut dengan “WAIYOO

Pemberian adat tidak hanya kepada orang atau akan tetapi suatu benda yang dianggap besar. Seperti Asrama Mahasiswa Deiyai Kota Study Manokwari Papua Barat.

ROH WOOGADABII

      Falsafah hidup suku bangsa Mee termasuk sekitar danau Tigi dalam pemberian nama mengandung maksud tertentu, berdasarkan kondisi yang terjadi pada saat melahirkan seseorang. Semisal kata atau nama “WOOGADABII” berasal dari kata WOOGADA = Mulai berpikir, sedangkan huruf  BII  menunjukkan seorang laki-laki. Maka disimpulkan secara harafiah bahwa berpikir untuk masa depan yang gemilang. Artinya tempat (asrama) ini mempersiapkan sumber daya manusia Deiyai yang mampu melihat masa depan,  baik perkembangan pemerintahan, gereja, masyarakat secara universal.

Roh daripada Woogadabii, mengisyaratkan akan mendapatkan kekuatan gaib dalam  tindakan sehari-hari berdasarkan dorongan nama  adat yang menjadi suatu subtanis dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu menunjukkan adanya  basis/asrama yang ideal dalam berpikir  serta dalam tindakan  menuju perkembangan sumber daya manusia Deiyai agar  bisa bersaingan dengan perkembangan dunia yang semakin  maju. 

SEJARAH SINGKAT ASRAMA 

Dari kebadabii Menuju Woogadabii

      Manokwari kerap kali disebuah sebagai Kota Injil, mengalami perkembangan kota tersebut mendapatkan satu nama lagi menjadi buah- buahan,, dan kini  bertambah satu nama lagi menjadi kota Study.  Melihat kondisi tanah yang sangat mendukung dalam pengembangan bibit pertanian maka Universitas Cenderawasih membuka Fakultas  Pertanian di Manokwari yang kini menjadi ibukota provinsi Papua Barat  sekitar tahun 1970-an.  Salah satu mahasiswa asal Suku Mee yang menjadi Mahasiswa pertama, yakni Ir. Didimus Tebay. Beliau mengereti pendidikan pertanian  dan menyelesaikan pada tahun 1976-an.

      Semasa mengenyam pendidikan di Kota Manokwari   dirinya mengalami tempat tinggal. Suku Mee yang  menetap pada masa-masa itu diantaranya Musa Adii (alm), Harum Pakage, Paulus Pakage, Herman Dogopia, (ia sempat menjadi  kepala Suku Mee),  Paulus Dogopia, David Giyai, masih ada lain-lain.

Ir. Didimus Tebay ke Manokwari tinggal bersama dengan  Bapak Yakob Pakage, yang sudah ada sejak lama disana, dan sebagai PNS SPMA Manokwari saat itu. Selama dua  tahun Ir. Tebay  bersama Bapak Yakob Pakage. Mengingat volume belajar yang tinggi dirinya pindah ke asrama Villanofa asrama satu-satunya waktu itu di Amban.

Pada saat itu masyarakat Mee yang berdomisili di Manokwari memberikan nama adat kepada Ir. Didimus Tebay  dengan sebuatan “Kebadaby” artinya membuka pintu bagi generasi berikutnya. Buktinya hingga saat ratusan sarjana sudah menyelesaikan dari kota Study ini. Bahkan dari tahun ke tahun para pelajar asal Suku khusus dari Kabupaten Deiyai membludak datang ke Manokwari.  Kehadiran  Ir. Didimus Tebay, ternyata menjadi pembuka cakwarala bagi mahasiswa asal dari Meeuwodidee.

Terkait dengan tempat tinggal bagi para Mahasiswa  yang belajar di Manokwari menjadi suatu tantangan yang membebankan mereka dalam study. Persoalan ini  tidak memudarkan semangat perjuangan dalam bangku kuliah.

Para mahasiswa asal Mee dengan beban yang  begitu berat berupaya membangun sebuah gubuk yang di beri nama “gubuk KOTEKA MOGEE ( Kote-Mo). Para mahasiswa yang membangun gubuk itu kini telah menjadi alumni yakni, Lambertus Agapa, Karel Douw, Angkian Goo,  dan lain-lain, (1998-an), dibawah pembinaan Ir. Domin Pekey yang juga salah satu Dosen Unipa asal Kabupaten Deiyai.

 Setelah gubuk Koteka Mogee ( kotemo) dibangun ternyata mengundang banyak mahasiswa asal Meeuwodide ( Dogiyai, Deiyai, Paniai). Bertepatan dengan pemekaran kabupaten Deiyai pada tahun 2008, berdasarkan UU Nomor. 55 Tahun 1999, maka secara  de Yure  Deiyai menjadi sebuah Kabupaten Pemekaran dari Kabupaten Paniai. Maka pemerintah setempat mulai berpikir dalam pembangunan Asrama-asrama di semua kota Study. Salah satu diantaranya di kota Study Manokwari.

Sebagai bukti kepedulian Pemerintah kabupaten Deiyai, Sekretaris Kabupaten Deiyai Basilius Badii, BA mengunjungi kota Injili dengan tujuan mendata mahasiswa asal Deiyai pada tahun 2010, tepatnya bulan September.

Kehadiran Sekretaris Daerah, melangsungkan pertemuan  bersama para Mahasiswa, di  Pondok DUAMO, sekaligus menyerahkan dana bantuan study.  Hal itu ditempuh oleh para Mahasiswa sebagai bukti tidak memiliki penampungan yang layak bagi mahasiswa.  Kunjungan itu ternyata menuai kepedulian dari Pemerintah yang lebih mendalam. Buktinya sepulang dari tour pendidikan  langsung di programkan oleh Pemerintah kabupaten Deiyai, dan hasilnya kita saksikan bersama yang di resmikan pada tanggal 31 Juli 2012 oleh Penjabat Bupati Deiyai Basilius Badii, BA, dengan memberikan Nama asrama “WOOGADABII”

Daftar Pustakan

Wawancara

1.    Wawancara bapak Yakobus epigaibii Pakage,

2.     Wawancara bapak Obed Dogopia

3.    Anius Ukago, Noak Pakage

4.    Ones Giyai

5.    Sebagian naskah disadur dari buku “deiyai dalam proses pembangunan bangsa” di Tulis Oleh Fransiskus Igine Bobii

6.    Yance Bobii

7.    Marthen Edoway....31 juli 2012+++++www.nuranideiyai.com.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.