Ungkapan Hati Adalah Ungkapan Doa : Belajar Dari Dasar Hidup Suku Mee
Oleh Delian Dogopia
DEIYAI – AnakKampung.com- Kata hati
selalu menjadi pedoman dalam langkah setiap orang. Sering,
kata hati membuat kita menyesal di kemudian hari, ketika kita
tidak memahami apa yang telah kita hadapi. Kita harus menjadikan
pelajaran dalam menempuh hari-hari ke depan berdasarkan setiap aspek dalam
kehidupan yang telah berlalu.
Ungkapan
hati adalah ungkapan doa. Hal ini adalah sebuah filosofi
yang selalu menguatkan setiap langkah yang kita ambil. Berbeda dengan
kata hati dan doa kita ketahui dan pahami selama ini, filosofi ini harus kita
ketahui dan pahami. Selain itu, di sela filosofi ini, ada lagi
yang harus kita lengkapi untuk menyempurnakannya,
yaitu memahami dengan hati, berfikir, dan bertindak dengan iman.
Semuanya ini harus diawali dan diakhiri dengan doa.
4 Unsur
Pelengkap Ungkapan Hati Adalah Ungkapan Doa
Berikut
ini penjelasan pelengkap ungkapan hati adalah ungkapan doa yang dapat saya
bagikan dalam empat unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu:
1. Hati
berbicara tentang “perasaan” yang dimiliki setiap manusia, supaya
manusia itu dapat mengerti bagaimana manusia itu hidup saling membutuhkan dan
berinteraksi.
2. Pikiran
berbicara tentang “pendapat” bagaimana manusia dapat berfikir secara
baik untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam mengambil keputusan dalam
menentukan pilihan hidupnya.
3. Iman
berbicara tentang “tindakan” berdasarkan apa yang harus dilakukan
untuk mendapatkan sesuatu yang terbaik dalam setiap kehidupan manusia.
4. Berdoa
berbicara tentang “meminta dan bersyukur” sesuai
kebutahan manusia. Kita harus minta kepada Sang Pencipta. Ketika mendapatkan
apa yang kita inginkan sebagai manusia, haruslah kita bersyukur atas berkat
yang kita dapatkan.
Pedoman Hidup Leluhur
Suku Mee
Dalam kebiasaan
hidup leluhur suku Mee terkait kepribadian yang dilengkapi dengan hati,
pikiran, iman, dan doa telah melekat pada setiap individu manusia
Mee. Pada zaman itu pula, leluhur suku Mee memiliki kehidupan yang saling
memahami berdasarkan Touyee Manaa.
Touyee
Manaa secara harafiah berarti ajaran Sang
Pencipta yang paling mendasar. Sebagian dari dasar itu menjelaskan
bahwa apa yang saya punya itu saya punya, apa yang anda punya itu yang
anda punya, yang salah tidak bisa dibenarkan, dan yang benar tidak bisa
disalahkan.
Hal ini
telah menjadi kebiasaan dalam menjalani kehidupan dalam berfikir,
bertindak, merasakan, dan bersyukur dalam menghadapi tantangan hidup. Kebiasaan
itu menjadi budaya suku Mee yang tidak dapat terpisahkan pada zaman
dahulu.
Satu kebiasaan
yang menjadi contoh adalah ketika manusia Mee zaman dahulu memulai suatu
pekerjaan akan diawali dengan menatap ke langit beberapa saat dengan
berkata dalam hati, “Epaa Poya Mee, Maki Poya Mee”
yang berarti “Sang Pencipta Langit dan Bumi Beserta Isinya”. Setelah
itu, manusia Mee melihat pekerjaan yang akan dilakukan sejenak dan manusia Mee
tersebut memulai pekerjaan yang hendak dikerjakan tersebut. Hal ini membuktikan
bahwa dengan hati, dia (manusia Mee) akan berfikir bahwa saya akan melakukan
pekerjaan ini. Sebelum melakukan pekerjaannya, dia akan berdoa untuk meminta
tuntunan kepada Sang Pencipta (Ugatamee). Ugatamee yang
mempunyai segala-galanya. Itulah salah satu kebiasaan manusia Mee.
Kebiasaan ini tidak bisa lagi untuk diubah atau diganti dari dulu,
sekarang dan untuk selama-lamanya.
Hilangnya
Kepribadian Leluhur Suku Mee
Dalam
pergumulan hidup yang selalu dilalui dengan pergantian musim atau zaman, selalu
diikut-sertakan dengan langkah kehidupan setiap generasi yang berbeda. Ini
menjadi salah satu tantangan bagaimana perkembangan modern yang menutupi
kepribadian sebagai suku Mee. Apalagi dengan bercampur-baur dengan kehidupan
yang tidak seimbang dengan budaya atau kepribadian sebagai
suku Mee yang sebenarnya, sehingga tertutup ditelan
ambisi kehidupan.
Zaman
modernisasi yang sedang berkembang ini bukan lagi membawa kita ke
arah yang terbaik dalam kehidupan ini, melainkan justru
membuat kita sebagai suku Mee lupa akan pondasi atau dasar hidup
yang sebenarnya. Apalagi dengan lupa akan filosofi kehidupan sebagai
suku Mee. Namun sebagai manusia, kita tidak akan terlepas dari
warisan atau pembawaan sifat hidup dari nenek moyang
kita sebelumnya. Sehingga, ada satu atau dua di antara keempat poin di
atas yang masih melekat pada pribadi kita dan dapat kita rasakan.
Efek 4
Unsur Pelengkap Ungkapan Hati Adalah Ungkapan Doa Diabaikan
Ketika
kita tidak memupuk dan mengembangkan 4 unsur pelengkap ungkapan hati adalah
ungkapan doa, maka efek yang akan mempengaruhi kehidupan kita
adalah sebagai berikut.
1. Kita
menguasai hati dan kasih, tapi tidak menguasai pemikiran beserta iman. Hal ini
menjadi kental di Papua, khususnya Suku Mee. Hal ini mengakibatkan kita ragu
untuk bertindak. Akhirnya, membawa diri kita sebagai pengharap alias pemalas karena
selalu dimanja. Inilah akibat memiliki hati dan kasih yang tidak disertai iman.
Konteks pemikiran zaman sekarang adalah yang penting nama naik.
2. Kita
menguasai pikiran, tapi tidak menguasai perasaan dan iman sama saja mempunyai
banyak angan-angan terkait ide dan pemikiran, namun tidak mempunyai tindakan
untuk melakukan sesuatu. Sehingga, menimbulkan banyak pertanyaan, “Siapa
yang akan datang menolong saya?” atau seperti orang pemalu karena tidak
memiliki iman dan banyak memerintah alias penyuruh orang lain tanpa mengetahui
perasaan orang lain.
3. Kita
menguasai iman, tapi tidak menguasai pikiran dan hati. Hal ini mendeskripsikan
bahwa orang selalu bertindak, namun tidak mengetahui yang akan terjadi tanpa
melihat perasaan orang lain. Sehingga, penyesalan itu selalu datang dari
belakang, dalam bahasa Mee: Baa, dimiki nemougaa meya kaa epii gataii.
4. Kita
banyak berdoa, tapi tidak menguasai hati, perasaan, dan iman. Hal ini juga sama
saja seperti menunggu dan berharap tangan kudus akan datang menolong tanpa
melakukan sesuatu. Sehingga, menimbulkan banyak pengharapan yang tidak pasti.
Kekurangan
sepoin saja membuat kita manusia Mee sekarang berbeda dengan manusia Mee
dulu. Sehingga, generasi kita seperti orang buta yang berjalan tanpa tongkat
atau yang secara kasar bisa disebut “manusia seperti binatang mempunyai
kecenderungan untuk ikut-ikutan”.
Penulis
Buku The Crouwd, Buku Sosiologi Kerusuhan Sosial (yang masih
popular sampai saat ini), Gustavo le Bon, mengatakan bahwa masalah seperti
beginilah yang terus-menerus mengancam kehidupan pribadi setiap
manusia Mee dan Papua pada umumnya. Kita (manusia Mee) tidak mempelajari
semuanya dengan baik alias belajar setengah-setengah.
Menaruh
Harapan Bagi Generasi Muda
Sebagai
jiwa muda, kita jangan tenggelam dalam indahnya perkembangan modern yang
menutupi kekejaman hidup, kepalsuan, dan ketidakadilan yang sedang melanda
tanah Papua, khususnya wilayah Mee Pago.
Paulo
Freire, seorang tokoh pejuang yang berjuang melalui pendidikan di Brasil pernah
berkata, “Sebuah perkembangan adalah modernisasi, tapi tidak semua modernisasi
adalah perkembangan.” Ini merupakan sebuah kutipan kata yang
mengajak kita agar kita jangan selalu tenggelam dalam perkembangan
tapi, bagaimana kita harus bisa mengangkat kebiasaan atau budaya leluhur kita
untuk bangkit dan mengikuti perkembangan zaman yang terjadi. Dengan kata lain,
bagimana kita bisa memoderenisasikan budaya kita sesuai perkembangan zaman.
Selain itu, kita diajak untuk bernalar tentang bagaimana kita bisa kembali ke
konsep dasar kita dan filosofi kita sebagai manusia Mee yang
sudah ada dari dulu sampai saat ini.
Manusia
Mee berarti manusia sejati yang terikat kepada Touyee Manaa. Touyee
Manaa adalah ajaran Sang Pencipta yang berlandaskan
dengan pribadi tiap manusia Mee yang siap dari hati, fikiran cerdik,
bertindak dengan iman, dan yang selalu bersyukur apa adanya sesuai
pemberian Ugatamee.
Melihat
pribadi leluhur suku Mee yang sebenarnya, kita sudah dilengkapi dengan keempat
unsur kepribadian leluhur kita. Hanya saja bagaimana kita belajar untuk
mengendalikan dan melengkapi keempat unsur pribadi yang ada menjadi lengkap
dalam pribadi kita sesuai perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi yang kita
dapat saat ini.
“HATI, PIKIRAN, IMAN, DAN DOA HARUS BERSATU”
*) Mahasiswa asal Papua,
kuliah di Manokwari, Papua Barat
Post a Comment